Senin, 03 Februari 2014

CARA MENDETEKSI ZAT PEWARNA MAKANAN









A. Bahan Pewarna Makanan
Dalam ilmu kimia bahan pewarna makanan tergolong zat aditif makanan. Zat aditif adalah bahan-bahan yang ditambahkan sebagai campuran pada makanan. Bahan pewarna makanan terbagi dalam dua kelompok besar yakni pewarna alami dan pewarna buatan. Di Indonesia, penggunaan zat pewarna untuk makanan baik yang diizinkan maupun dilarang diatur dalam SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 235/MenKes/Per/VI/79 dan direvisi melalui SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 722/MenKes/Per/VI/88 mengenai bahan tambahan makanan.
Pewarna alami diperoleh dari tanaman ataupun hewan yang berupa pigmen. Beberapa pigmen alami yang banyak terdapat di sekitar kita antara lain klorofil terdapat pada daun-daun berwarna hijau, karotenoid terdapat pada wortel dan sayuran lain berwarna oranye-merah. Umumnya, pigmen-pigmen ini bersifat tidak cukup stabil terhadap panas, cahaya, dan pH tertentu. Walau begitu, pewarna alami umumnya aman dan tidak menimbulkan efek samping bagi tubuh.
Pewarna buatan untuk makanan diperoleh melalui proses sintesis kimia buatan yang mengandalkan bahan-bahan kimia, atau dari bahan yang mengandung pewarna alami melalui ekstraksi secara kimiawi. Beberapa contoh pewarna buatan yaitu Warna kuning ( tartrazine dan sunset yellow), Warna merah (allura, eritrosin dan amaranth), Warna biru (biru berlian).
Kelebihan dari pewarna buatan dibanding pewarna alami adalah dapat menghasilkan warna yang lebih kuat dan stabil meski jumlah pewarna yang digunakan hanya sedikit. Warna yang dihasilkan dari pewarna buatan akan tetap cerah meskipun sudah mengalami proses pengolahan dan pemanasan, sedangkan pewarna alami mudah mengalami degradasi atau pemudaran pada saat diolah dan disimpan. Misalnya kerupuk yang menggunakan pewarna alami, maka warna tersebut akan segera pudar ketika mengalami proses penggorengan.
B. Deteksi Bahan Pewarna Berbahaya
Uji zat pewarna makanan merupakan suatu perlakuan untuk mengetahui ada atau tidaknya kandungan bahan kimia berbahaya dalam makanan. Telah diketahui bahwa berbagai jenis makanan dan minuman yang beredar di Indonesia, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, telah diwarnai dengan pewarna tekstil atau yang bukan zat pewarna "food grade", yaitu yang tidak diizinkan digunakan dalam makanan. Pewarna-pewarna tersebut memang lebih banyak digunakan untuk tekstil, kertas atau kulit. Seperti telah diketahui, berdasarkan beberapa penelitian telah dibuktikan bahwa beberapa zat pewarna tekstil yang tidak diizinkan tersebut bersifat racun bagi manusia sehingga dapat membahayakan kesehatan konsumen, dan senyawa tersebut memiliki peluang dapat menyebabkan kanker pada hewan-hewan percobaan. Cara mendeteksi zat pewarna makanan hasil sintetik , dapat dilakukan melalui dua cara antara lain
1. Cara Modern,
Teknik ini biasanya dilakukan di laboratorium yang maju, analisis pewarna makanan sudah secara rutin dilakukan, dengan berbagai teknik dan metoda. Sebagian besar dari cara analisa tersebut masih berdasarkan suatu prinsip kromatografi atau pun menggunakan alat spektrophotometer. Cara tersebut digunakan untuk mendeteksi zat pewarna tersebut secara teliti, karena itu minimal diperlukan fasilitas yang cukup canggih serta dituntut tersedianya berbagai pelarut organik, yang biasanya cukup mahal harganya. Di samping itu teknik tersebut juga memerlukan tenaga terampil yang profesional. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari beberapa metoda yang praktis tetapi teliti untuk mengidentifikasi adanya pewarna sintetik dan bila perlu dapat membedakan jenis pewarna sintetik dalam makanan. Hal tersebut penting sekali bagi laboratorium pangan, pembuat kebijaksanaan dan organisasi pelindung konsumen agar mempunyai suatu teknik atau metoda analisis yang cepat cara kerjanya dan dapat membedakan antara zat pewarna makanan dengan pewarna tekstil. Teknik analisis tersebut seyogyanya yang cukup sederhana sehingga mudah dilakukan di tingkat rumah tangga dan di lapangan bagi penjual zat pewarna atau penjual makanan.
2. Cara Sederhana
Babu dan Indushekhar S (1990), telah melaporkan hasil penelitiannya, bahwa deteksi zat pewarna sintetik dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan peralatan yang sederhana, seperti gelas, air dan kertas saring. Sehingga tidak diperlukan adanya pelarut ataupun memerlukan tersedianya peralatan khusus. Metoda ini dapat dikerjakan di rumah maupun di lapangan. Keistimewaan atau keuntungan penting dari metoda tersebut adalah karena cara analisisnya tidak membutuhkan ketersediaan zat pewarna-pewarna standar apapun. Ide dari metoda sederhana ini didasarkan pada kemampuan zat pewarna tekstil yang berbeda dengan zat pewarna makanan sintetis, di antaranya karena daya kelarutannya dalam air yang berbeda. Zat pewarna tekstil seperti misalnya Rhodamin B (merah), Methanil Yellow (kuning), dan Malachite Green (hijau), bersifat tidak mudah larut dalam air.
Sedangkan prinsip kerjanya adalah kapilaritas kertas saring dengan pelarut air (PAM, destilata, atau air sumur) . Setelah zat pewarna diteteskan di ujung kertas saring, air dari bawah akan mampu menyeret zat-zat pewarna keatas. Apabila bahan pewarna tersebut merupakan bahan yang aman dikonsumsi, maka akan terseret jauh (lebih dari 5 cm) oleh air dari gelas secara kapilaritas. Sedangkan jika bahan pewarna tersebut merupakan zat pewarna yang berbahaya seperti bahan pewarna tekstil maka tidak akan terseret jauh oleh air (kurang dari 3 cm) melalui kapilaritas pada kertas saring. Bahkan terkadang tetap diam ditempat, hal ini menunjukan bahwa sifat zat pewarna tekstil tidak mudah larut dalam air. Jika terseret antara 3 sampai 5cm maka meragukan dan harus diuji dengan uji laboratorium yang lebih teliti. Cara ini praktis untuk mengecek atau mengidentifikasi zat warna dalam kemasan yang akan digunakan untuk mengolah makanan secara spesifik. Para teknisi laboratorium dan lembaga konsumen, bahkan siswa SMA serta konsumen awam, kini dapat dengan mudah, cepat dan sederhana mendeteksi zat warna tekstil tersebut, bila diinginkan.
Keunggulan lain dari metoda sederhana ini adalah tidak diperlukannya standar pembanding (kecuali ingin mendeteksi zat pewarna apa). Akan tetapi hasil uji dengan metoda tersebut perlu pula dikonfirmasi lebih lanjut dengan uji yang dikerjakan di laboratorium dengan menggunakan metoda konvensional. Sehingga dapat benar-benar diyakini bahwa bahan pewarna tersebut tidak mengandung bahan pewarna untuk tekstil. Hal ini penting karena terkadang hasil penelitian terbaru dapat mencabut ijin pemakaian bahan pewarna tertentu yang sebelumnya tercantum di dalam daftar pewarna yang diijinkan oleh Badan Pengawasan Obat-Obatan dan Makanan (BPOM).
C. Bahan Pewarna Berbahaya Pada Makanan
Zat pewarna makanan tidak lain hanyalah berfungsi sebagai penarik perhatian agar terkesan enak dan lezat. Zat pewarna makanan dibedakan menjadi dua macam yaitu pewarna makanan alami dan buatan (sintetik). Pewarna makanan yang paling aman untuk dikonsumsi yaitu pewarna makanan alami. Sedangkan pewarna sintetik kurang aman bahkan bisa berbahaya jika mengandung zat kimia yang tidak layak untuk dicampurkan pada makanan. Contoh bahan-bahan pewarna makanan berbahaya yang ditemukan dipasaran sebagai campuran pewarna antara lain.
1. Rhodamin B,
Warnanya merah dan sifatnya tidak mudah larut dalam air, seringdigunakan sebagai pewarna tekstil.
2. Methanil Yelow
Warnanya kuning dan sifatnya tidak mudah larut dalam air.
3. Malchite Green
Warnanya hijau dan sifatnya tidak mudah larut dalam air.
D. Kertas Saring
Kertas saring yaitu kertas yang terbuat dari bahan-bahan selulosa. Bahan selulosa yaitu bahan-bahan yang tebuat dari tumbuh-tumbuhan. Misalnya bubur rumput, jerami dan kayu. Kertas saring sering disebut ”Filter Paper”. Kegunaan kertas saring yaitu untuk menyaring bahan-bahan atau zat yang bersifat cair, atau dapat memisahkan sebuah campuran dalam kegiatan praktik, pengujian atau penelitian dalam laborat.
Kertas saring bersifat menyerap air, bahkan daya serap terhadap zat cair paling baik jika dibandingkan dengan kertas biasa lainnya. Keunggulan daya serap yang optimal menjadikan kertas saring sangat baik untuk eksperimen yang berhubungan dengan kapilaritas. Oleh Karena itu pada penelitian ini cukup efektif dan hasilnya lebih optimal maka peneliti menggunakan kertas saring.

2 komentar: